Labels

Monday, February 13, 2017

WASPADALAH CALON BAIK BISA KALAH SAMA BOTOH



Beberapa waktu yang lalu saya mendapat tamu Prof. Andrew dari Wyoming Amerika Serikat. Beliau sedang mengadakan riset penelitian tentang dinamika politik di Asia Timur termasuk Indonesia oleh Perguruan Tinggi tempatnya bertugas. Banyak perbincanngan yang kami bicarakan salah satunya adalah mengenai politik uang.

Prof. Andrew sangat tertarik pada dua hal yaitu kontrak politik dan politik uang. Kontrak politik adalah bentuk perjanjian antara calon yang akan dipilih dengan kelompok atau organisasi disuatu tempat. Sedangkan politik uang adalah bentuk kotor dari demokrasi dimana pemilih diiming-imingi sejumlah uang untuk memilih salah satu calon yang mencalonkan diri.

Botoh adalah penjudi yang sering menggelar perjudian, baik murni judi kartu, dadu dan lain-lain. Namun botoh seringkali mencari keuntungan dengan memenangkan sejumlah besar uang jika ada even-even khusus, misalnya Pemilu, Pilpres, Pilgub, Pilkada sampai pemilihan Kepala Desa. Botoh-botoh ini bisa memang penjudi ulung yang memiliki modal besar, namun bisa juga dilakukan oleh orang-orang yang secara umum disebut penjudi namun mereka ini adalah kaum intelektual yang memiliki tujuan untuk meraih kekuasaan dengan menggunakan cara membeli suara untuk memenangkan dirinya. Misalnya dengan melakukan kontrak politik kepada masyarakat atau kelompok, serta murni memberikan sejumlah uang untuk membeli suara calon pemilih.

Kontrak politik, sebenarnya merusak tatanan demokrasi, dengan mengadakan perjanjian politik, maka pemilih akan melupakan kompetensi yang dimiliki oleh calon yang akan dipilih namun hanya terfokus dengan perjanjian yang telah disepakati, sedangkan prinsip si calon, tentu uang yang dikeluarkan harus ada pengembalian.

Tawaran 1 M setiap RW pada Pilkada DKI Jakarta yang ditawarkan oleh paslon I Agus-Silfi merupakan bentuk tawaran kontrak politik. Sekali lagi tawaran, sebab belum ada publikasi atau penulis belum tahu ada publikasi disuatu RW di jakarta yang telah menandatangi perjanjian untuk memilih Paslon I tersebut. Sedangkan tawaran yang diberikan oleh Paslon III Anis-Sandi kelihatannya hanya suara angin surga belaka. Sebab kelihatan manis namun dalam perjalanan pemerintahan jika dia terpilih maka kiranya akan sangat kesulitan, banyak kendala yang akan mereka hadapi, bukan masalah dari mana dana yang akan dianggarkan namun tempat yang harus disediakan, misalnya KPR tanpa DP dan lain sebagainya. Paslon II Ahok-Jarot paling realistis dan tidak menjanjikan suatu hal yang tidak dapat dijalankan sesuai konstitusi.

Sebenarnya masing-masing calon memiliki strategi tersendiri untuk memenangkan Pilkada tersebut. Namun sepandai apapun mereka membuat strategi, jika sudah dihadapkan pada uang, maka semua akan berantakan. Contoh kongrit yang mudah dicerna oleh kelas grasroot adalah pemilihan kepala desa. Di Jawa Tengah sering terjadi calon kepala desa yang memiliki kapabilitas dan kompetensi cukup baik atau bahkan sangat baik akan gagal berantantakan jika menghadapi serangan fajar. Bentuk serangan adalah dengan membagi-bagikan sejumlah uang kepada calon pemilih untuk memilih calon tertentu.

Bukan hanya pemilihan kepala desa, bahkan pada saat pemilihan anggota legilatif dan kepala daerah kasus bagi uang sering terjadi. Sudah menjadi rahasia umum bahkan sudah membudaya prinsip “wani piro” ini kerap terjadi. Pada waktu pendek masyarakat merasa diuntungkan namun dalam jangkia panjangnya maka masyarakat yang akan dirugikan, sebab laju pembangunan terhambat dengan kekurang mampuan si anggota legislatif atau kepala daerah yang dipilihnya.

Ketakutan akan adanya politik uang sebenarnya sudah terasa dimana pencoblosan tinggal menghitung hari lagi. Gambar dua orang team sukses Agus-Silfi memamerkan uang dalam jumlah besar dalam dua buah koper di rumah pemenangan mereka sebagai bukti, hal ini jika bukan gambar editan hoax untuk membuat citra buruk yang dilakukan oleh lawan politiknya, tetapi sampai saat ini juga belum ada klarifikasi dari Agus maupun team pemenangnya. Hal ini membuat masyarakat bertanya-tanya, harusnya KPU dengan Pengawas Pemilu dan Kepolisian segera melakukan langkah kongkrit untuk mencegah terjadinya politik uang tersebut.

Kesadaran masyarakat Jakarta saat ini sedang diuji, namun bagaimanapun loyalnya kader-kader paslon, jika dihadapkan dengan perut maka akan tumbang juga. Ujaran tentang “harta, tahta dan wanita”, benar-benar sedang diuji kebenarannya.

Semoga seburuk-buruknya masyarakat dalam menentukan sikap, masih diingatkan oleh hati nuraninya, bahwa dengan cara salah walau tujuan benar, maka hasil yang di dapat adalah kehancuran.

1 comment:

  1. Silakan Kunjungi Artikel tajenonline.com

    OVO S128
    Jadwal Bank S128

    Dan dapat Hubungi Kontak Whatsapp Kami +62-8122-222-995

    ReplyDelete